Nagari Koto Gadang

Tuesday, August 01, 2006

Nagari Koto Gadang










Koto Gadang: Nagari Kaum Intelektual
Oleh :Ahmad Arif
Barangkali tak ada satu desa nagari dalam konsepsi Minang di Indonesia yang melahirkan sedemikian banyak intelektual terkemuka, seperti Nagari Koto Gadang, Kecamatan IV Koto, Kabupaten Agam, Sumatera Barat.
Nagari kecil di puncak Ngarai Sianok, lereng Gunung Singgalang ini, melahirkan negarawan sekaliber Agus Salim dan Sutan Syahrir, wartawati pertama Indonesia Rohana Kudus, seniman terkemuka Hamid Jabar, Oesman Effendi, serta sejumlah besar duta besar era orde lama dan awal orde baru.

Ratusan, mungkin ribuan, dokter sejak era kolonial berasal dari nagari ini, juga sederet tokoh intelektual lain. Emil Salim, walaupun lahir di tempat lain, berdarah asli Koto Gadang dan hingga kini masih sering berkunjung ke kampung leluhurnya.
Liputan dan tulisan berikut mudah-mudahan bisa mewakili tradisi intelektual dalam desa berpenduduk 2.339 jiwa itu.

Eloknya Balai Adat berbentuk rumah bagonjong berukir indah beratap lengkung yang dibangun tahun 1937 rasanya tak cukup mewakili kebesaran intelektual Koto Gadang, juga rumah- rumah warga bergaya eklektik yang berderet di banyak gang di nagari itu.
Arsitektur bergaya eklektik, campuran berbagai elemen tanpa proses transformasi baku, umumnya dibangun di Nusantara pada awal abad XX hingga awal Perang Dunia I, 1914-1918. Banyaknya rumah bergaya seperti itu di Koto Gadang di samping beberapa rumah bergaya Art Deco, lebih memberikan gambaran kejayaan masa lalu.
Namun, kekhawatiran berakhir begitu kaki melangkah memasuki Balai Adat di satu sudut simpang jalan.

Tradisi diskusi
Siang itu, tiga lelaki dan seorang perempuan berusia di atas 60-an tahun menyambut hangat dan menghentikan aktivitas mereka. Hanya sejenak karena setelah itu, Kompas beruntung dapat leluasa mengikuti kegiatan yang mereka lakukan.
Keempat sepuh itu tengah berdiskusi di Balai Adat. Mereka membahas berbagai tema: politik, ekonomi nasional, pendidikan, hingga masalah pengaturan air bersih di nagari mereka yang dikelola secara swadaya. Sesekali obrolan mereka diselingi lontaran bahasa Belanda nan fasih.
Keempatnya adalah pensiunan yang telah melanglang buana di perantauan, dan kini pulang kampung menghabiskan masa tua. Hera Mahzar (64), pensiunan pegawai apoteker; Tajrian (70), pensiunan bankir; Rusli Marah Laut (72), pensiunan akuntan publik; dan Yuhardi (61), pensiunan karyawan Deperindag.

Kami terbiasa berdiskusi tiap hari di sini. Menghabiskan waktu tua agar otak masih terus bisa berpikir, kata Rusli. Agaknya tak banyak yang berkumpul siang itu karena ada 220 jiwa yang berumur 60 tahun ke atas di Koto Gadang atau hampir 10 persen dari populasi.
Koto Gadang memang prototipe nagari yang rata-rata ditinggal penduduknya untuk merantau, dan kini dihuni pensiunan serta pendatang, penggarap tanah. Warga Koto Gadang sepakat tak boleh menjual tanah dan rumah walau ditinggal perantau. Pendatang hanya bisa menggarap tanah dengan sistem bagi hasil atau sewa.

Menurut Hera, penduduk asli Koto Gadang yang masih tinggal di nagarinya sendiri hanya sekitar enam persen, sisanya di perantauan. Berbeda dengan nagari lain di Sumatera Barat, hampir semua perantau asal Koto Gadang adalah perantau di bidang intelektual.
Hampir tak ada perantau dari Koto Gadang yang menjadi pedagang. Kebanyakan menjadi pegawai, baik negeri atau swasta, dokter, dosen, atau guru. Semua perantau yang berasal dari sini berpendidikan, kata Hera yang kini menyiapkan buku tentang Koto Gadang.

Sejarah intelektual
Sejarah intelektual Koto Gadang, setua kedatangan Belanda di Sumatera Barat. Kehadiran Eropa di pesisir Ranah Minang dimulai sejak abad ke-17 lewat maskapai dagang Belanda, VOC, yang membangun pos perdagangan di Padang pada 1680 dan digantikan Inggris lima tahun kemudian. Meski begitu, pengaruh Belanda ke pedalaman terjadi tatkala Pemerintah Belanda menggantikan peran VOC, ditandai dengan kampanye militer 1821-1838.
Awalnya adalah Abdul Gani Rajo Mangkuto, pemuda Koto Gadang, yang melihat Belanda dari sisi lain. Ketika itu, masyarakat Koto Gadang, yang mayoritas masih berprofesi sebagai perajin perak, penyulam kain, dan petani, banyak yang ikut gerakan kaum Padri menentang Belanda.
Tetapi, Abdul Gani melihat Belanda memiliki keunggulan pada teknologi, alat-alat perang, serta intelektualitas sehingga diyakini sulit dikalahkan begitu saja. Abdul Gani yang terkagum bertekad untuk menyerap ilmu dari Belanda.
Dia kemudian belajar membaca dan menulis dengan tekun, sampai kemudian diangkat menjadi juru tulis pada perusahaan kopi Belanda. Karena kecakapannya bernegoisasi, Abdul Gani mendapatkan kepercayaan dari Belanda menjadi agen utama yang memonopoli pengumpulan kopi dan hasil bumi Sumatera Barat lainnya untuk dijual kepada Belanda.
Jadilah Abdul Gani sebagai salah satu konglomerat terkaya di Minang pada eranya. Saat Belanda mendirikan Sekolah Rajo di Bukittinggi, Abdul Gani ”memonopoli” dengan membeli bangku sekolah untuk dipakai anak-anak Koto Gadang.
Sikap Abdul Gani yang memonopoli pendidikan untuk warga Koto Gadang itu membuat pihak lain meradang. Pada tanggal 8 Oktober 1876, sebuah artikel di media massa lokal saat itu, Sumatra Courant, mengkritik Abdul Gani. Kita minta perhatian pada pers di Hindia Belanda maupun di Negeri Belanda sendiri tentang adanya suatu perkumpulan rahasia Koto Gadang, yang dengan segala upaya berusaha mendudukkan pemerintahan keluarga di Sumatera.
Walau demikian, sejak saat itulah Koto Gadang terbiasa dengan iklim intelektualitas. Kesadaran membaca dan menulis warganya sangat tinggi. Pada tahun 1916, orang-orang Koto Gadang sudah menerbitkan majalah Berita Koto Gadang dan membangun perpustakaan serta sejumlah sekolah.

Hingga kini majalah itu masih tetap terbit dengan nama Canang. Tradisi membaca dan menulis inilah yang agaknya memunculkan sosok-sosok intelektual otodidak di masa itu, seperti Agus Salim dan Rohana Kudus.
Di samping suburnya tradisi pendidikan otodidak dengan membaca, diskusi, dan menulis, masyarakat Koto Gadang juga berlomba menyekolahkan anak mereka tinggi-tinggi dari hasil menjual kerajinan perak dan sulaman yang terkenal. Hasilnya, para lulusan sekolah dokter pertama di Hindia Belanda, Stovia, banyak yang berasal dari Koto Gadang.
Menurun
Seiring waktu, kekayaan intelektual Koto Gadang meredup. Meski tradisi intelektualitas tetap dijaga, seperti yang terlihat dari kelompok orang tua yang tetap berdiskusi di Balai Adat. Koto Gadang dan juga nagari-nagari lain di tanah Minang kian meredup pascapemberontakan PRRI yang menyebabkan banyak tokoh keluar, kata Hera.
Menurut Rusli, saat pemberontakan PRRI era 1959-1961, terjadi gelombang eksodus besar-besaran warga Koto Gadang ke luar Minang. Dulu, banyak warga sini yang ikut PRRI sehingga banyak yang menjadi sasaran kecurigaan pascapembubaran PRRI tahun 1962. Akhirnya, banyak warga yang memilih keluar daerah, kata Rusli.

Koto Gadang pun ditinggal tokoh-tokoh pemegang otorita intelektualnya. Nagari ini menjadi sunyi dan hanya dihuni pensiunan tua yang hampir kehabisan energi. Majalah Canang sekarang pun diterbitkan dari Jakarta sehingga tradisi intelektual tak lagi berkembang di Koto Gadang.
Orangtua di Koto Gadang kebanyakan memang masih berorientasi untuk menyekolahkan anaknya tinggi-tinggi. Tetapi, kualitas pendidikan di negeri ini pun sekarang juga kurang bagus. Paling banter sekarang orang sini jadi pegawai biasa. Jarang yang menjadi tokoh intelektual yang menonjol. Memang saat ini sulit mencari tokoh intelektual di negeri ini yang berasal dari pendidikan otodidak sebagaimana pernah terjadi di Koto Gadang dulu, kata Hera. (YNS/NAL-Harian Kompas)

Nagari-Nagari di Kecamatan IV Koto, Kabupaten Agam

- Malalak

- Sungai Landia

- Balingka

- Koto Tuo

- Guguak Tabek Sarojo

- Koto Panjang

- Sianok

- Koto Gadang